Oleh: Irwandi Aziz
Sebagai akademisi yang aktif mendampingi mahasiswa hingga lulus, saya menanggapi dengan keprihatinan mendalam isi berita berjudul “Setiap Tahun Cetak Lulusan Sarjana, Dumai Minim Penempatan Tenaga Kerja di Daerahnya” yang dipublikasikan oleh (tautan tidak tersedia) Ini bukan sekadar kritik, tapi juga cerminan kondisi yang nyata dan sudah lama jadi kegelisahan banyak pihak, termasuk saya pribadi.
Kita semua tahu bahwa setiap tahun, kampus-kampus di Dumai tidak sekadar mencetak sarjana, tapi juga mempersiapkan anak-anak muda yang siap kerja, punya kompetensi, dan mental bertarung di dunia kerja. Tapi ironisnya, ketika mereka kembali ke kampung halaman, peluang kerja justru tertutup atau hanya bisa diakses lewat jalur kedekatan, bukan kapasitas.
Kalau budaya “orang dalam” dan sistem rekrutmen yang tidak transparan terus dibiarkan, maka kita bukan hanya menyia-nyiakan potensi SDM muda daerah, tapi juga sedang mengikis kepercayaan mereka terhadap sistem. Ini bisa memunculkan generasi frustrasi yang memilih menyerah, hijrah, atau apatis terhadap tanah kelahirannya sendiri.
Sebagai akademisi, saya tidak membela institusi manapun, tapi saya menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak muda ini gigih belajar, aktif berkegiatan, dan punya semangat juang tinggi. Mereka bukan tidak siap kerja. Yang tidak siap adalah ruang kerja yang terbuka dan adil bagi mereka.
Untuk itu, saya mengajak semua pihak untuk berhenti saling menyalahkan. Sudah saatnya kita bangun kolaborasi konkret, bukan hanya wacana. Saya mengajak Lingkar Pemuda Pemudi Dumai (LPPD) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Dumai untuk bersinergi dengan elemen kampus dalam membuka kanal-kanal kerja sama, pelatihan, advokasi kebijakan rekrutmen terbuka, serta membangun career hub berbasis lokal yang menjembatani antara lulusan dan dunia kerja.
Kita tidak kekurangan SDM, kita hanya kekurangan kemauan untuk membuka jalan bagi mereka. Mari kita ubah itu bersama.