Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Dumai, Marjoko Santoso |
Disebut-sebutnya nama Marjoko Santoso oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), Wawan Yunarwanto pada fakta persidangan tersangka Yaya Purnomo, oknum aparatur negeri sipil(PNS) Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Kementerian Keuangan RI yang sebelumnya diberitakan Kompas pada 27 September 2018 lalu tentu saja banyak mengagetkan kita.
Kala itu Marjoko, menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Dumai diceritakan sebagai aktor ‘intelektual’ penghubung Pemko Dumai untuk menemui Yaya Purnomo.
Dalam pertemuan tersebut terjadi tentang kesepakatan fee yang akan dibayarkan sebesar 2 persen dari anggaran dana alokasi khusus (DAK) APBN TA 2017, APBN-P 2017 serta APBN TA 2018 untuk Kota Dumai.
Tepatnya di pertengahan tahun 2016, Wali Kota Dumai Zulkifli As memerintahkan Marjoko untuk meminta bantuan kepada kedua tersangka Yaya dan Rifa Surya agar kekurangan DAK TA 2016 dimasukkan ke dalam DAK Perubahan TA 2017.
Tentu saja ini peluang emas bagi tersangka untuk menambah pundi-pundi kekayaannya dengan cara memperolehnya dari DAK tersebut
Gayung pun bersambut, kesepakatan fee 2 persen dari nilai pagu anggaran telah disepakati.
Aksi babak pertama pun dimulai, di bulan Oktober 2016 lalu, Dumai terima DAK TA 2017 sebesar 96 miliar rupiah dengan rincian 11 miliar rupiah bidang pendidikan dan PUPR 10 miliar rupiah, keduanya pun terima fee 250 juta rupiah.
Karena babak pertama dianggap mulus dan licin, sehingga babak kedua juga terjadi, tepatnya di pertengahan 2017, melalui mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Dumai itu, Zul As kembali meminta agar dimuluskan niatnya, untuk mendapatkan penambahan nilai DAK TA 2018 sebesar 20 miliar. Alhasil, ternyata dikabulkan juga, tak ayal kedua tersangka kembali terima 200 juta rupiah berdasarkan fee tersebut.
Tak itu saja, tambahan dengan nilai yang sama juga dilakukan Marjoko atas perintah Zul As kepada tersangka dalam rangka pembangunan RSUD, namun kali ini kedua tersangka mendapatkan bonus 35 ribu SGD.
Sehingga kalau ditotalkan keseluruhannya Pemko Dumai telah ‘menalangi’ dari nilai DAK kepada tersangka mencapai 3,7 miliar rupiah, 53.300 USD dan 325.000 USD.
Jadi, apa yang disampaikan jaksa KPK pada fakta persidangan tersebut dapat dibuktikan secara hukum, tentu saja kita masyarakat Dumai hanya bisa menduga sanksi apa yang bakal diterima oleh Marjoko yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dispenda Kota Dumai.
Seperti pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana suap diatur dalam Pasal 209 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. Barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.
Pasal 5 UU Tipikor
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
(2)
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, atau
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Menyimak aturan dan undang-undang di atas tentu kita masyarakat hanya bisa mengurut dada tentang sanksi apa yang akan diterima Marjoko jika terbukti melakukan penyuapan dan gratifikasi.
Apa lagi jika dikaitkan dengan undang-undang ASN tentang pidana korupsi bisa saja karir cemerlang Marjoko selaku ASN berakhir di tangan KPK?
Namun, kita tidak dapat menvonis dan berandai-andai, terlalu dini bersalah atau tidaknya Marjoko tentu saja melalui proses peradilan yang berlaku di negeri ini.
Sebagai seorang sahabat penulis hanya bisa berharap agar kasus yang menimpa Marjoko dapat terselesaikan dengan seadil-adilnya, kendatipun tidak menafikan, hukum harus ditegakkan di negeri ini, bagi para pelaku korupsi***
“Dalam kondisi darurat korupsi, pejabat negara tetap mencuri silih berganti. Sebanyak koruptor masuk penjara, sebanyak itu pula regenerasinya menggarong uang negara.Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri ini. Banyak anak muda tumbang karena korupsi, mereka hanyut dengan nikmat duniawi,”(kutipan kata Najwa Shihab)
Penulis : Khallila Dafri, Pemimpin Redaksi