Hukum  

Lahan Konsesi yang Tak Berujung Dihuni Warga Bumi Ayu

Warga Bumi Ayu saat melakukan aksi protes di depan kantor PN Klas IA Dumai


SOROTLENSA, DUMAI – Warga dari ke empat RT di Kelurahan Bumi Ayu, Kecamatan Dumai Selatan ‘berontak’ jika lahan yang mereka huni sebagai permukiman segera dieksekusi oleh pihak Pengadilan Negeri (PN) Klas 1 A Kota Dumai.

Bentuk rasa protes mereka pun sampai menempuh  jalur hukum dengan mengikuti beberapa kali persidangan hingga melakukan aksi protes di depan gedung yang beralamat di Jalan Raya Bukit Datuk itu.

Dimana sudah kali ke tiga dilaksanakan sidang tuntutan eksekusi lahan khususnya di tahun 2018 ini, tercatat mulai tanggal 2 Mei, 4 Juli dan 18 September 2018 lalu.

Kisah ini bermula pada tahun 1994 silam, dua orang yang bernama Suhari dan Jafar mengaku memiliki lahan dari beberapa titik di ke empat RT tersebut, diantaranya RT 13, 14, 15, 16 yang ditotalkan dihuni oleh 30 kepala keluarga (KK) dari 150 KK yang kala itu mendiami lahan kedua pria tersebut.

Karena merasa memiliki, kemudian mereka pun menguasakan hal ini kepada Barita Simbolon selaku pengacara keduanya untuk mengajukan tuntutan atas kepemilikan lahan mereka kepada ke 30 KK tersebut.

Padahal sebagaimana diketahui, lahan tersebut merupakan milik Caltex Pacific Oil Company (CPOC) yang bertugas untuk mengeksplorisasi minyak yang ada di Riau  pada tahun 1957 dengan menduduki empat wilayah yaitu Dumai, Duri, Minas dan Rumbai yang sekarang berganti nama menjadi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI).

Caltex kala itu melakukan pembebasan lahan dengan membayarkan ganti rugi kepada warga yang terkena imbas atas proses pembangunan dan pengoperasian eksplor minyak bumi di Riau ini.

Merasa dinilai janggal, karena status lahan merupakan tanah konsesi, sontak warga pun tak terima. Tanggal 2 Mei 1994, warga pun  melaporkan  permasalahan ini kepada pihak Caltex. Dimana perkara tersebut dikuasakan kepada pengacara Caltex bernama Karsidi.

Pada proses persidangan, Caltex menunjukkan dokumen yang mengatakan jika lahan yang dituntut penggugat tidaklah benar, sebab berdasarkan keputusan Kementerian Keuangan RI yang dalam pelaksanaannya ditunjuk oleh Badan Pelaksana Minyak Bumi dan Gas (BP Migas) selaku pengelola jika status lahan tersebut merupakan tanah terpenjara yang sifatnya hanya hak pakai bagi warga.

Selain itu kelemahan pihak Simbolon pun tampak pada kedua nama pemilik yang dikuasakan kepadanya. Dari daftar nama pembebasan lahan yang ada, nama Suhari dan Jafar tidak tercantum sehingga terkesan kedua nama tersebut hanyalah fiktif alias bodong. Tuntutan penggugat pun ditolak oleh Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Bengkalis.

Namun Simbolon tak hilang akal, di tahun 1995, ia mengajukan kasasi atas kepemilikan tanah tersebut ke Pengadilan Tinggi (PT) Kota Pekanbaru. Ia merasa bukti yang diajukan oleh Caltex tidak sesuai tuntutan yang diperkarakan.

Baginya, bukti yang ditunjukkan di persidangan oleh perusahaan asing itu bukan sebagai kepemilikan lahan melainkan daftar nama-nama yang tanahnya terkena dari pembebasan lahan  itu. Sehingga Simbolon pun menang di PT hingga ke Mahkamah Agung (MA) tahun 2000 lalu.

Ketika warga Bumi Ayu yang diwakilkan tokoh masyarakat setempat, Basri dan Sianturi dengar penjelasan pihak PN Dumai

Penggugat Tak Tahu Lokasi yang Dituntut

Karena merasa menang, di tahun 2003, pihak penggugat meminta kepada 30 warga itu untuk mengosongkan lahan dalam waktu selambatnya delapan hari.

Namun timbul lagi kerancuan yang dinilai warga tidak pantas bahkan terkesan berlebihan. Barita Simbolon yang saat itu sudah meninggal, kemudian melanjutkan perkara ini kepada kedua anaknya, Sahat Simbolon dan Yunike Simbolon sebagai orang yang dikuasakan. Tapi hal ini sangat tidak masuk akal, sebab tak ada kaitannya di antara kedua belah pihak.

Kalaupun ada, sudah semestinya perkara ini dilanjutkan oleh kedua ahli waris yang mengaku pemilik lahan.

“Namun ini tidak, malah anak Barita Simbolon, yang melanjutkan perkara ekseskusi ini. Apa urusannya sama mereka, kalaupun memang iya, anak Suhari dan Jafar lah yang bertindak,”tutur Ketua RT 13, Basri kepada Sorotlensa.com saat bercerita kronologi kisah ini dimulai, yang bertempat di salah satu kediaman warga setempat, Zainal Aung beberapa waktu lalu.

Disampaikannya, pihak penggugat sebenarnya tidak tahu pasti dimana posisi lahan yang mereka tuntut dari 30 titik di ke empat RT tersebut.

Buntut ketidaktahuan mereka, akibatnya ke empat wilayah ikut dalam perkara gugatan mereka, yang ditotalkan luas lahan sebesar 25 hektar dengan jumlah total warga sebanyak 500 KK saat ini. “Jadi imbasnya kami pun kena semua. Makanya kami tidak terima,”ujar dia mengulas yang diamini Zainal Aung.

“30 warga itu pun bukan memiliki lahan dan rumah pribadi, melainkan mereka warga luar yang hanya mengontrak rumah di wilayah ini. Termasuk dengan nama sepadan yang tertera dalam perkara gugatan lahan itu bernama Rais. Padahal dari nama yang ada saat pembebasan  lahan pun tak ada nama Rais. Tah siapa Rais itu…,”sebutnya bertanya.

Tokoh masyarakat Bumi Ayu, dari kiri Zainal Aung salah seorang warga setempat, Ketua LPMK Bumi Ayu, Yanto Susanto, Ketua RT 13 Basri dan kanan, Ketua RT 14 Ivan.

Dinilai Banyak Kejanggalan

Hal senada juga dikatakan Ketua RT 14, Ivan. Kepada media ini, dirinya menjelaskan, mengacu pada dokumen resmi, surat yang mereka miliki keluar tahun 1960, bahwa wilayah yang mereka maksud adalah masih berstatus kepenghuluan dengan nama Kepenghuluan Dumai, Kecamatan Dumai dan Kabupaten Bengkalis.

Sedangkan wilayah Kecamatan Dumai ada sejak diganti dan dimekarkan tahun 1964, dengan nama Kewedanaan Rupat, Kepenghuluan Dumai, Kecamatan Dumai, dan Kabupaten Bengkalis.

“Nah di tahun 1960 itu belum ada Kecamatan Dumai yang ada namanya Kecamatan Tanjung Kapal,”terangnya menjelaskan.

Setelah ditelusuri, wilayah yang dimaksud pun bukan di Bumi Ayu melainkan di areal darat tangki Jepang yang kini merupakan lokasi komplek perumahan Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) 0320 Dumai dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jalan Jendral Sudirman.

“Sedangkan dulunya nama Bumi Ayu adalah Lubuk Sepetai yang letaknya sealur dengan letak di selatan pelabuhan Dumai. Berkaca dari itu saja, kan sudah beda, tidak ada kesamaannya sama sekali,”ujar dia.

Kejanggalan lainnya terdapat dalam surat  kepemilikan tanah mereka, ternyata dokumen dibubuhkan dengan materai seharga 25 rupiah.

Padahal seharusnya dengan tahun tersebut, surat dibubuhkan dengan harga  materai 1 rupiah bukan 25 rupiah. Karena harga materai 25 rupiah itu diterbitkan oleh PT Pos Indonesia tahun 1981.

“Hal ini pun sesuai dengan pengakuan dari kantor Pos Indonesia dan hasil laboratorium kriminal (labkrim) Polres Bengkalis di Bandung tahun 2000 lalu,”terang dia.

“Seharusnya pihak kepolisian kan bisa langsung tanggap mengenai kasus ini dari tindak pidananya. Tapi kita lihat pihak polisi seakan-akan bungkam dan tidak tahu-menahu mengenai kasus ini,”ungkapnya lagi

“Jadi tidak ada lagi proses eksekusi. Ini malah sebaliknya, proses pengosongan lahan sudah mulai terjadi dari tahun 2003, 2008 hingga 10 tahun kemudian di tahun ini (2018) mereka berencana lakukan  eksekusi lagi,”paparnya terperinci.

Hakim Terkesan Bermain Mata

Yanto Susanto selaku Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Kelurahan Bumi Ayu mengatakan jika hakim PN Klas I A Dumai diduga terkesan bermain mata dengan pihak penggugat.

Sebab ia menilai, proses persidangan masih berjalan, dan mereka tahu jika warga akan mengajukan gugatan dari segi pidana.

“Dengan bukti yang kita miliki berupa dokumen letak posisi dan materai yang terkesan dipaksakan. Tapi mengapa pihak pengadilan mau cepat-cepat mengeksekusi lahan kami,”sebutnya.

Apalagi hal ini sesuai dengan pasal 4 butir 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu.

Belum lagi pada persidangan yang terakhir kalinya, pada 18 September 2018 lalu, pengadilan sengaja menggelar sidang ini secara tertutup.

“Karena tertutup itulah kami para warga turun ke pengadilan. Namun kita tidak diperbolehkan masuk, kita malah dihadang dan pagar pengadilan juga ditutup. Ada apa ini sebenarnya,”sebutnya geram.

Untuk itu ia pun menginginkan dan berharap kepada pihak terkait terutama Pemko Dumai dan kepolisian, untuk turut serta membantu penyelesaian masalah yang mereka hadapi, guna evaluasi sita eksekusi.

“Ini kan lahan konsesi sama dengan kediaman pak Wali Kota Dumai dan bangunan perkantoran lainnya, mengapa hal ini mereka tidak mau membantu. Dan kami yang harus berjuang sendiri, bahkan termasuk biaya yang dipungut dari warga secara swadaya untuk bayar pengacara yang menangani kasus kami,”ucapnya di akhir obrolan dengan media ini.

Tampak Ketua RT 14 Basri saat memberikan penjelasan usai kesepakatan gelar sidang ditunda

Pengadilan Negeri Dumai Membantah 

Pihak PN Klas I A Dumai akhirnya menunda jadwal sita eksekusi terhadap lahan tersebut.

Panitera PN Dumai, Sahat Udut Martua Hutagalung mengatakan lantaran ada aksi penolakan di depan kantor pengadilan.

Sahat menyebutkan pihak pengadilan berencana melakukan rapat koordinasi sita eksekusi lahan di Kelurahan Bumi Ayu.

Rapat melibatkan pihak Kepolisian Dumai, Lurah Bumi Ayu dan Camat Dumai Selatan.

“Tapi akhirnya kita tunda karena banyak masyarakat yang tidak berkenan lahannya dieksesusi,” ulas Sahat usai unjuk rasa.

Menurutnya, proses eksekusi karena di lahan berperkara sudah berkuatan hukum tetap.

Putusan pengadilan negeri pada tahun 1994 silam memenangkan pemilik lahan yakni Barita Simbolon. Perkara ini akhirnya in kracht sejak tujuh tahun lalu.

Ia menampik ada keberpihakan pengadilan dalam perkara ini. Menurutnya putusan atas Barita Simbolon sebagai pemenang sudah berkekuatan hukum tetap.

Pada putusan itu tergugat mesti mengembalikan tanah sengketa itu. “Maka bakal dilakukan eksekusi sesuai putusan, yakni pengosongan lahan,”tukasnya.(tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *