Umum  

Mewujudkan Mimpi Naker Lokal

Ilustrasi buruh 

Pada edisi kali ini Sorotlensa kembali mengangkat isu tentang penempatan tenaga kerja lokal 100 persen yang pernah menjadi janji politik strategis pasangan Zulkifli As dan Eko Suharjo saat bertarung dalam merebut hati pemilih pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 lalu.

Namun sebelum kita mengulas lebih dalam lagi perlu kiranya kita memahami apa yang dimaksud dengan tenaga kerja.

Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Maksudnya setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja yang dikategorikan pula berdasarkan batas kerja yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.

Untuk tenaga kerja atau angkatan kerja, usia produktif nya yaitu 15 sampai 64 tahun  yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.

Dimana angkatan kerja pun dibagi menjadi dua, yakni pekerja dan pengangguran.

Sedangkan bukan tenaga kerja atau bukan angkatan kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu atau tidak mau bekerja, meskipun ada permintaan bekerja dengan batas usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun, contohnya para lansia, pensiunan dan anak-anak. Hal ini juga telah termaktub di dalam UU tenaga kerja nomor 13 tahun 2003.

Tenaga kerja sendiri merupakan salah satu faktor produksi yang penting di setiap negara, sebab tanpa tenaga kerja, faktor produksi alam dan faktor produksi modal tidak bisa digunakan dengan optimal.

Namun pada dasarnya ketenagakerjaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yakni tenaga kerja terdidik, tenaga kerja terlatih dan tenaga kerja tidak terlatih.

Tenaga kerja terlatih dan terdidik tentu saja tenaga kerja yang mempunyai keterampilan khusus yang didapat pada bangku pendidikan formal dan non formal.

Pendidikan formal yang dimaksud yaitu melalui suatu jenjang pendidikan tingkat SLTA bahkan perguruan tinggi.

Sedangkan pendidikan non formal tentu saja keterampilan yang didapat melalui lembaga kursus atau pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta.

Menyikapi program dan niat suci Zul As-Eko Suharjo dalam upaya penempatan naker lokal 100 persen pada setiap perusahaan yang ada di pantai timur Sumatera ini tentu saja patut kita ancungi jempol.

Kendati terbentur undang-undang yang lebih tinggi namun kita juga tidak boleh menyerah dengan keadaan dan tetap memperjuangkan apa yang sudah menjadi program Wali Kota Dumai saat ini.

Sebagaimana yang pernah dibahasakan Muh Hasbi kepada media ini sebelumnya jika semua pihak terkait bersama-sama merealisasikan niat tulus yg telah dicanangkan pemerintah sebelumnya, khususnya dalam memperjuangkan naker lokal.

Upaya bersama yang dimaksud salah satu tokoh yang memperjuangkan Dumai menjadi kota pada 1999 silam adalah kinerja yang terukur dan terprogram secara matang dimulai dari pemerintah hingga komponen masyarakat.

“Artinya seluruh serikat pekerja dan serikat buruh hingga sejumlah organisasi kepemudaan untuk mengawal dan mendesak para perusahaan agar mengutamakan naker lokal,”terangnya memaparkan.

Tentu saja hal ini juga harus ‘dibarengi’ dengan program pemerintah yang notabene adalah Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) dalam menyiapkan lembaga pelatihan serupa atau keterampilan agar para naker lokal mampu bersaing di negerinya sendiri dalam menghadapi kompetisi di dunia kerja saat ini.

Meskipun sebelumnya Suwandi selaku Kepala Disnakertrans Kota Dumai pernah meluruskan jika pemerintah sudah menekan angka kemiskinan dengan cara membuka bursa lapangan kerja yang melibatkan sejumlah perusahaan swasta termasuk sejumlah perhotelan dan perbankan.

“Kita (Disnakertrans) sudah salurkan pekerjaan kepada pencari kerja. Langkah penyerapan naker ini cukup berhasil dengan cara mengelar pelatihan untuk meningkatkan kompetensi para pencaker agar dapat manfaatkan ilmunya yang siap bekerja di perusahaan tentunya agar bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri,”ungkap Suwandi beberapa waktu lalu.

Namun kita juga harus sadar jika program pemerintah tersebut dirasa belum bisa meminimalisir angka pengangguran yang ada di kota ini. Tentunya semua ini tak lepas dari perihal anggaran dan kemampuan seorang kadis untuk mampu mewujudkan visi misi sang pemimpin dalam memperjuangkan lapangan kerja bagi naker lokal.

Hal ini pula yang sempat diutarakan Zulfan Ismaini belum lama ini kepada Sorotlensa, sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), ia menilai meskipun pelaksanaan pelatihan yang diikuti putra tempatan yang dinamakan balai latihan kerja (BLK) untuk menekan angka pengangguran oleh pemerintah sudahlah benar, hanya saja waktu yang pelaksanaannya kurang produktif.

“Hanya 30 hari saja, idealnya pelatihan tersebut lamanya enam bulan, sehingga para anak didik lebih terampil dalam menguasai bidang yang diikutinya dan lebih disiplin ketika kelak mereka diterima di suatu perusahaan tempat mereka bernaung maupun di kala mereka membuka usaha sendiri,”papar Sekretaris Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kota Dumai itu menjelaskan.

Sebab mengapa dua poin itu sangatlah penting yakni disiplin dan skill, menurutnya naker lokal cenderung berkarakter arogan.

“Akibatnya tindakan disiplin pun jadi  terabaikan ditambah lagi skill yang dimiliki juga dirasa kurang memenuhi persyaratan dari pihak perusahaan, sehingga… kemungkinan para perusahaan lebih memilih naker dari luar daerah yang dianggap lebih mumpuni dalam bekerja,”timpalnya panjang lebar.

Alasan lainpun diutarakannya, dari data yang diterimanya, pemerintah dalam
‘mengepostkan’ dana kepada satker Disnakertrans sebesar 2,5 miliar rupiah dirasa sangatlah kurang dibandingkan jumlah penduduk Dumai yang mengacu pada data Badan Statistik Pusat (BPS) per 1 Januari 2018 mencapai 300 ribu lebih jiwa.

Dan sekitar 30 persen penduduknya atau setara 12 ribu orang masih mencari lapangan pekerjaan pasca mengikuti pendidikan formal minimal setingkat SMA.

“Rata-rata mereka berusia 17 hingga 55 tahun. Jadi untuk meminimalisir angka pengangguran dirasa belum tepat dengan nilai anggaran tersebut,”tuturnya di akhir cerita.

Pertanyaannya adalah: Apakah dinas yang bersangkutan telah merancanakan suatu lembaga pelatihan keterampilan bagi angkatan kerja sesuai kebutuhan yang ada pada saat ini?

Jika ini belum terencanakan melalui penganggaran suatu kegiatan pelatihan tentu saja sangat sulit terealisasi, khususnya perihal yang menjadi niat tulus Wali Kota Dumai saat ini.

Untuk itu sebagai media yang merupakan mitra kerja pemerintah saat ini tidak salah rasanya kalau kembali mempertanyakan sejauh mana upaya yang telah dilakukan Disnakertrans Kota Dumai dalam mendukung program penempatan naker lokal tersebut.

Karena Dinas Ketenaga Kerjaan dan Transmigrasi merupakan bagian dan perpanjangan tangan pemerintah untuk mengurus hal ini.

Penulis : Khallila Dafri, Pemimpin Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *