Fransiska Dimitri Inkiriwang (kiri) dan Mathilda Dwi Lestari (kanan). Dokumentasi: Tim WISSEMU |
Jakarta – Anggota tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan (WISSEMU), Fransiska Dimitri Inkiriwang, 24 tahun, dan Mathilda Dwi Lestari, 24 tahun, telah berhasil menuntaskan puncak terakhir dalam ekspedisi seven summit. Mereka berhasil mencapai puncak Everest alias puncak tertinggi dalam jajaran tujuh gunung tertinggi dunia di Everest pada 17 Mei lalu.
Dalam ekspedisinya, Fransiska dan Mathilda memilih jalur utara melalui Tibet untuk menggapai puncak Everest. Jalur yang tak sefamiliar Nepal itu dianggap lebih bersahabat.
Keduanya melakukan proses pendakian selama 30 hari, terhitung mulai masa aklimatisasi atau adaptasi fisiologis. Sebulan berada di Everest, kedua mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan itu mengaku mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
“Kalau dihitung-hitung, (biaya pendakian) kami berdua habis Rp 2,4 miliar,” ujar Fransiska di kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat 8, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juni 2018.
Lebih dari 80 persennya dikeluarkan untuk mengurus biaya pendakian. Menurut Fransiska dan Mathilda, untuk mendaki sampai puncak Everest, perlu uang sebesar US$ 70 ribu atau sekitar Rp 973 juta bila dikonversi dengan kurs saat itu.
Anggaran itu sudah termasuk biaya pengurusan regulasi dan visa, membayar Sherpa atau pemandu pendakian, akomodasi selama berada di Everest, makan, dan hal-hal lain yang diperlukan dalam pendakian.
“Juga sudah termasuk tiket pesawat menuju Lhasa dari Kathmandu di Nepal,” ujar Mathilda.
Lhasa adalah gerbang yang mengantar mereka melalui jalur utara pendakian Everest di Tibet. Bila dihitung terpisah, tiket ke Lhasa dari Kathmandu mencapai US$ 300-400 ribu per orang atau sekitar Rp 4-5 juta.
Adapun biaya penerbangan dari Jakarta menuju Nepal berkisar Rp 10 juta untuk dua orang. Ditambah biaya kelebihan bagasi sebesar Rp 5 juta. “Karena beli tiketnya mepet, jadi kami dapat harga yang mahal,” ujarnya.
Sedangkan biaya perjalanan pulang dari Nepal ke Jakarta masing-masing Rp 3 juta lebih. Ditambah dengan biaya kelebihan bagasi dengan total berat mencapai 150 kilogram.
Selain untuk kebutuhan pendakian dan transportasi, keduanya menghabiskan puluhan juta untuk akomodasi selama di Kota Thamel, Nepal. “Kami sempat beristirahat di Thamel beberapa hari,” tutur Fransiska.
Untuk misi pendakian ini, mereka mendapat dukungan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), Multi Karya Asia Pasifik Raya, Universitas Katolik Parahyangan, dan Mahitala Unpar.
(sumber tempo.co)