Oleh : Yeni Kartini, S.Sos
Teleskopnews.com – Pasca bergulirnya Reformasi, kesempatan kaum perempuan Indonesia untuk ikut serta terlibat dalam berbagai bidang pembangunan semakin terbuka lebar, pun demikian halnya kesempatan dalam ranah politik yakni sebagai penyelenggara pemilu.Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.Pada pasal 10 ayat 7 “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.Berikutnya pada Pasal 92 ayat 11“Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, danBawaslu Kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”. Hal ini merupakan bentuk dukungan (affirmative action) atas keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di tingkat pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota pun samapi tingkat badan adhoc di bawahnya. Ketentuan kuota adalah alat atau sarana yang diharapkan dapat mengubah banyak hal yang berhubungan dengan perempuan dan realitas mereka di politik (Wahid, 2014).
Namun pada realitanya berdasarkan data yang dihimpun oleh Puskapol UI (2021), keterwakilan perempuan di Instutusi KPU dan Bawaslu periode yang lalu belum mencapai batas minimal 30% tersebut. Berikut data komisioner KPU Republik Indonesia 6 laki-laki (85,7 %) dan 1 perempuan (14,3%). Kemudian anggota Komisioner KPU Provinsi 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21,1%). Komisioner KPU Kabupaten/kota 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%). Selanjutnya untuk Komisioner Bawaslu 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%). Pada periode 2022-2027 pun kurang lebih serupa dengan periode sebelumnya, dari tujuh komisioner KPU Republik Indonesia hanya ada satu perempuan, begitupula dengan Bawaslu Republik Indonesia dari kelima komisioner hanya satu srikandinya.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kuota 30% untuk keanggotaan
perempuan pada institusi KPU dan Bawaslu selama ini belum terpenuhi secara maksimal. Meskipun tidak ada penghalang formal untuk keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu, namun peluang keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu masih mengalami tantangan.
Mengapa keterlibatan perempuan minim dalam Penyelenggara Pemilu?
Penyebab kurangnya 30% keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga legislatif maupun di lembaga penyelenggara pemilu karena perempuan terbentur “langit-langit kaca”dalam peningkatan keterlibatannya secara politik. Perempuan mengalami halangan-halangan yang seringkali kasat mata, tetapi sangat nyata dirasakan dan menghambat perempuan untuk terlibat dalam ranah politik.
Berdasarkan hasil riset Puskapol FISIP UI(2014) ada beberapa hambatan dan tantangan klasik bagi perempuan untuk terlibat secara langsung dalam ranah politik. Pertama, mengenai konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan budaya patriarki (Manshour Faqih, 2004). Kedua, soal pengetahuan kepemiluan yang masih tergolong minim bagi perempuan. Ketiga, alasan geografis yang menghambat perempuan mengakses pemenuhan hak politik. Sedikit banyak memang terlihat jelas adanya ketimpangan gender di dalam struktur keanggotaan KPU dan Bawaslu dari tingkat atas sampai bawah. KPU dan Bawaslu memang bukanlah jabatan politik namun peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemiluadalah bagian dari upaya mendorong partisipasi politik perempuan.
Beberapa upaya yang harus terus dilakukan untuk menciptakan kualitasdan kuantitas calon komisioner perempuan, secara sosiologis perlu menguatkan kembali kesadaran semua pihak terhadap kesetaraan gender. Kemudian kegiatan-kegiatan sosialisasi atau bimbingan teknis tentang pendidikan politik agar meningkatkan animo perempuan untukmenjadi penyelenggara pemilu. Hal ini mungkin bisa dilakukan sejak dini ketika dibangku sekolah dan kampus-kampus. Perempuan harus didorong untuk mendapatkan posisi sebagai penyelenggara pemilu melalui pengadaan pelatihan kepemiluan dan penguatan keterampilan perempuan itu sendiri, baik dalam kelas tatap muka maupun kelas online.
Maka diperlukan juga membentuk suatu wadah untuk meningkatkan pengetahuan bagi perempuan berupa komunitas literasi kepemiluan bagi perempuan, baik dalam bentuk kelas bimtek dan sosialisasi tentang pendidikan kepemimpinan, politik dan penyelenggara kepemiluan. Komunitas perempuan inilah nantinya yang akan mendukung perempuan untuk mendapatkan posisi sebagai penyelenggara pemilu, legislatif dan eksekutif. Komunitas inilah nantinya yang akan mendorong perempuan dukung perempuan dalam Pemilu dan Pilkada mendatang.Melalui gerakan komunitas perempuan dukung perempuan dalam penyelenggaraan pemilu ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepemiluan, dimana masalah pengetahuan masih sulit bagi perempuan.
Dengan adanya komunitas literasi kepemiluan bagi perempuandiharapkan dapat memperkuat kapasitas pengetahuan dan keterampilan peserta perempuan mengenai kepemiluan serta meningkatkan kepercayaan diri untuk mengikuti proses seleksi KPU/Bawaslu yang lebih ketat.Peningkatan keterwakilan perempuan di institusiKPU dan Bawaslu dapat menjadi salah satu solusi konkret untuk terwujudnya sistem demokrasi yanglebih baik dan lebih terwakili sesuai amanat undang-undang.Semoga pihak-pihak terkait mampu menghadirkan dan memilih penyelenggara pemilu yang mandiri, berintegritas dan kompeten dalam menjawab kebutuhan dan tantangan di pemilu dan pilkada serentak 2024 mendatang.